Memupuk Kualitas Kader Melalui Iklim Keilmuan yang Kondusif
- Hasran (Ketua HMI Korkom Sultan Agung)
- Mar 22, 2017
- 3 min read

Kemunculan organisasi islam yang berbasis perjuangan di indonesia tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Jika boleh mengambil benang merahnya organisasi-organisasi tersebut mencoba membangkitkan kembali kejayaan islam seperti dahulu. Hanya saja, jika berbicara mengenai islam secara global tentu akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan akan menghabiskan sumber daya yang banyak pula. Olehnya itu mereka mengambil wujud yang lebih sederhana yang diwujudkan dalam bentuk visi dan misi mereka. Hal serupa juga berlaku untuk HMI, dengan status sebagai organisasi mahasiswa islam tertua dan terbesar di indonesia HMI terbentuk dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah situasi dunia internasional dimana kondisi umat islam secara global dapat dikategorikan mengalami kemunduran dan ketertinggalan yang sangat signifikan dari bangsa-bangsa barat.
Ketertinggalan tersebut memang disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat komplikatif. Namun banyak pihak yang percaya bahwa salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah hilangnya tradisi keilmuan dikalangan para generasi muslim. Sehingga para pemikir islam kontemporer seperti Muhammad Abduh, Umer Chapra, Jalaludin Alfagan, Muhammad Abdul Manan dan lain sebagainya mencoba menumbuhkan kembali spirit tersebut dengan mencoba menemukan formulasi-formulasi baru dalam menumbuhkan tradisi keilmuan dikalangan umat islam. Sejauh ini pemikiran mereka banyak dijadikan sebagai referensi dan tumpuan bagi generasi muslim yang lahir setelahnya.
Spirit tersebut juga dibawa oleh HMI sebagai organisasi kader dan perjuangan. Hal itu nampak dari sejarah panjang HMI yang dalam perjalanannya telah melahirkan para pemikir-pemikir yang sangat berpengaruh dan juga berkontribusi untuk islam dan indonesia. dahulu banyak pihak menganggap HMI sebagai harapan masyarakat indonesia walaupun dalam kondisi negara yang baru merdeka, masyarakat banyak belum mengenyam dunia pendidikan dan arus informasi yang masih terbatas, HMI telah melahirkan para cendekiawan-cendekiawan muda yang selalu siap berada digarda terdepan dalam menjawab setiap tantangan yang ada.
Zaman telah berubah, dengan berkembangnya teknologi menyebabkan informasi semakin terbuka untuk umum dan dapat diakses kapan saja dan dimana saja. diawal-awal kemerdekaan tingkat buta huruf masyarakat mencapai 95% tetapi saat ini berkurang menjadi 5% diimbangi dengan lahirnya perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang saat ini jumlahnya lebih dari 3.500 perguruan tinggi. Dengan kata lain, untuk menjadi cerdas segala sesuatu yang dibutuhkan telah tersedia bagi masyarakat dan implikasinya organisasi menjadi tidak menarik lagi dimata masyarakat terutama para generasi muda. Selain itu HMI justru kehilangan eksistensinya sebagai organisasi yang beranggotakan para cendekiawan. Bisa jadi HMI tidak mengalami kemunduran tetapi lingkungannya yang justru berkembang dengan pesat. Dewasa ini kita dapat menyaksikan secara nyata bahwa kualitas seorang aktivis HMI dan yang bukan aktivis HMI hampir tidak ada perbedaan sama sekali.
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh HMI seperti sekarang ini, maka jalan yang harus ditempuh adalah dengan istiqomah memupuk kembali tradisi keilmuan kita. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dengan begitu bebasnya arus informasi semua orang dapat mengakses apa yang disebut dengan informasi dan ilmu pengetahuan tanpa ada batasannya. Justru ini adalah peluang dan tantangan bagi HMI untuk memanfaatkan situasi seperti ini untuk menguatkan dan memberikan nilai yang optimal bagi perkaderan HMI itu sendiri. Jika masyarakat hanya menggunakan informasi sebanyak 50% maka aktivis HMI harus menggunakannya lebih dari itu. Kemudian agar informasi yang telah diolah tersebut dapat bermanfaat maka diperlukan iklim dan suasana perkaderan yang kondusif (tradisi keilmuan yang kondusif dan berkelanjutan).
Untuk dapat memupuk tradisi keilmuan tersebut diperlukan kerja keras dari pengurus selaku penanggung jawab. Namun yang terjadi dilapangan justru ketidak konsistenan pengurus menyebabkan tradisi keilmuan menjadi surut. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena masih banyak yang tidak memahami perkaderan HMI atau hanya sekedar menjalankan manajemen organisasi tanpa memahami perkaderan yang sebenarnya. Untuk itu peranan badan pengelolah latihan (BPL) sangat berpengaruh dan akan sangat membantu. BPL harus lebih sigap dan ekstra dalam mengawal perkaderan. Laksana seorang guru, tanpa harus menunggu panggilan dari murid tetapi dengan inisiatifnya memberikan pemahaman dan ilmu kepada murid-muridnya karena mereka tahu apa yang dibutuhkan oleh murid-muridnya. BPL harus matang dari segi mental dan keilmuan. Jika gurunya cerdas dan berakhlak maka sudah barang tentu muridnya akan cerdas dan berakhlak pula. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada BPL harus terus mengembangkan dan memperkaya diri dengan khazanah keilmuan agar dapat menyalurkannya kepada para kader atau minimal spirit keilmuannya dapat tersalurkan.
Demi menciptakan iklim ilmu pengetahuan yang kondusif maka baik pengurus dan badan pengelola latihan harus bahu membahu dalam menjalin sinergitas, bereksperimen dalam banyak hal untuk menciptakan formulasi perkaderan yang sesuai bagi kader sehingga dahaga akan ilmu akan tumbuh dibenak para kader. Dengan begitu maka HMI tidak akan terdegradasi dari perkembangan teknologi dan perkembangan zaman justru menjadi yang terdepan dalam menjawab segala tantangan yang ada.
Tentang Penulis:
Hasran adalah Mahasiswa Unissula Jurusan Akutansi Fakultas Ekonomi. Dia aktif sebagai Aktivis HMI dan saat ini menjabat sebagai Ketua Umum HMI Korkom Sultan Agung Periode 2016 - 2017.
Facebook: @ Hasran Accounting
https://www.facebook.com/profile.php?id=100010293422354&fref=ts
Comments